Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak
pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak
untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfull), dan
penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada
setiap system pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi. Begitupun
penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula, serta
mengundang sanksi pidana badan dan denda.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul “hasil kejahatan” (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar mereka dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut. Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU)
Untuk dapat membongkar kejahatan di bidang perpajakan, seperti kasus Asian Agri Group (AAG)” yang mencuat kepermukaan melalui pemberitaan media massa, empat lembaga pemerintah terkait yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan Agung, PPATK dan KPK telah meningkatkan kerjasama dan koordinasi. Menurut Anung Karyadi dari Transparansi Internasional Indonesia, kerjasama dan koordinasi tersebut mutlak adanya guna menutup semua celah (loophole) yang mungkin bisa dimanfaatkan pelaku penggelapan pajak untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.
Selain itu, kerjasama dan koordinasi yang dilakukan keempat lembaga pemerintah tersebut diharapkan juga dapat menemukan alternative pengusutan ketika sebuah cara yang telah dilakukan mengalami kebuntuan. Kita ketahui bahwa kejahatan penggelapan pajak, pencucian uang dan korupsi merupakan rangkaian kejahatan yang saling terkait satu sama lain, namun dalam penanganannya tidak selalu salam. Misalnya untuk kasus penggelapan pajak, penyelesaiannya boleh di luar persidangan UU KUP memberi peluang kepada pelaku penggelapan pajak bebas dari jeratan hukum pidana. Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan Negara atas permintaan Menteri Keuangan. Namun demikian, penghentian penyidikan pidana tersebut hanya dapat dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak beserta dendanya.
Selain kasus AAG, dugaan terjadinya tindak kejahatan bidang perpajakan lain yang cukup menarik perhatian kita adalah kasus manipulasi pajak hingga ratusan miliar rupiah dengan tempat kejadian perkara di Kabupaten Karawang, yang melibatkan oknum petugas Ditjen Pajak, konsultan pajak dan wajib pajak perusahaan. Perkiraan sementara, modus operandinya dengan ketentuan menghitung pajak sendiri (MPS). Kasus ini berawal dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisisi Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencurigai adanya transfer uang sebesar US$500,000 (sekitar Rp. 4,5 milyar) ke rekening sebuah bank BUMN atas nama seorang oknum pegawai Ditjen Pajak berinisiatil “YH”. Hingga saat ini, penyidik Kepolisian Daerah Jawa Barat masih terus mengembangkan kasus tersebut dengan memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat. Kalau kasus ini dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik, maka untuk pertama kalinya Indonesia mampu membongkar tindak kejahatan di bidang perpajakan yang melibatkan banyak pihak dan keberhasilan kita mengembalikan kekayaan Negara (asset forfeiture) dalam jumlah yang cukup signifikan.
Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus di bayar oleh wajib pajak yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan wajib pajak. Dalam praktik bisa terjadi misalnya wajib pajak hanya membayar 50% dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya “dikantongi” oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang 25% lagi yang disetorkan ke kas Negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang Negara bisa mencapai 75%. Besar kemungkinan bahwa terjadinya penggelapan pajak yung semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah Negara-negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.
Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan Negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan Negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat di cegah dan di berantas. Sejalan dengan itu, hasil kejahatannya di sita oleh Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul “hasil kejahatan” (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar mereka dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut. Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU)
Untuk dapat membongkar kejahatan di bidang perpajakan, seperti kasus Asian Agri Group (AAG)” yang mencuat kepermukaan melalui pemberitaan media massa, empat lembaga pemerintah terkait yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan Agung, PPATK dan KPK telah meningkatkan kerjasama dan koordinasi. Menurut Anung Karyadi dari Transparansi Internasional Indonesia, kerjasama dan koordinasi tersebut mutlak adanya guna menutup semua celah (loophole) yang mungkin bisa dimanfaatkan pelaku penggelapan pajak untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.
Selain itu, kerjasama dan koordinasi yang dilakukan keempat lembaga pemerintah tersebut diharapkan juga dapat menemukan alternative pengusutan ketika sebuah cara yang telah dilakukan mengalami kebuntuan. Kita ketahui bahwa kejahatan penggelapan pajak, pencucian uang dan korupsi merupakan rangkaian kejahatan yang saling terkait satu sama lain, namun dalam penanganannya tidak selalu salam. Misalnya untuk kasus penggelapan pajak, penyelesaiannya boleh di luar persidangan UU KUP memberi peluang kepada pelaku penggelapan pajak bebas dari jeratan hukum pidana. Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan Negara atas permintaan Menteri Keuangan. Namun demikian, penghentian penyidikan pidana tersebut hanya dapat dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak beserta dendanya.
Selain kasus AAG, dugaan terjadinya tindak kejahatan bidang perpajakan lain yang cukup menarik perhatian kita adalah kasus manipulasi pajak hingga ratusan miliar rupiah dengan tempat kejadian perkara di Kabupaten Karawang, yang melibatkan oknum petugas Ditjen Pajak, konsultan pajak dan wajib pajak perusahaan. Perkiraan sementara, modus operandinya dengan ketentuan menghitung pajak sendiri (MPS). Kasus ini berawal dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisisi Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencurigai adanya transfer uang sebesar US$500,000 (sekitar Rp. 4,5 milyar) ke rekening sebuah bank BUMN atas nama seorang oknum pegawai Ditjen Pajak berinisiatil “YH”. Hingga saat ini, penyidik Kepolisian Daerah Jawa Barat masih terus mengembangkan kasus tersebut dengan memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat. Kalau kasus ini dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik, maka untuk pertama kalinya Indonesia mampu membongkar tindak kejahatan di bidang perpajakan yang melibatkan banyak pihak dan keberhasilan kita mengembalikan kekayaan Negara (asset forfeiture) dalam jumlah yang cukup signifikan.
Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus di bayar oleh wajib pajak yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan wajib pajak. Dalam praktik bisa terjadi misalnya wajib pajak hanya membayar 50% dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya “dikantongi” oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang 25% lagi yang disetorkan ke kas Negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang Negara bisa mencapai 75%. Besar kemungkinan bahwa terjadinya penggelapan pajak yung semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah Negara-negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.
Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan Negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan Negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat di cegah dan di berantas. Sejalan dengan itu, hasil kejahatannya di sita oleh Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
https://id-id.facebook.com/notes/dukung-susno-duaji-untuk-kebenaran/penggelapan-pajak-kejahatan-asal-praktik-pencucian-uang/134453536578135/ (selasa,26 april 2016)
JANGKA WAKTU PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK SERTA PELUNASAN KETETAPAN PAJAK
Sebagaimana kita ketahui bahwa system
pemungutan pajak di Indonesia menerapkan system Self Assestment yang memberikan
kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk menghitung, menyetor dan melaporkan
pajaknya sendiri. Atas penerapan system inilah sehingga timbul di masyarakat
adanya upaya untuk meminimalisir pembayaran pajak yang penulis bagi menjadi 2
(dua) kriteria yakni penghindaran pajak yang berada dalam koridor peraturan
perpajakan yang berlaku (Tax Avoidance) dan penghindaran pajak yang melanggar
peraturan perpajakan atau penggelapan pajak (Tax Avise).
Tentunya kita semua sangat mengharapkan
criteria pertama yakni penghindaran pajak yang sesuai dengan peraturan
perpajakan yang dipakai oleh semua lapisan masyarakat sebagai Wajib Pajak. Nah,
cara untuk meminimalisir pembayaran pajak antara lain adalah membuat
perencanaan pajak yang efektif dan efisien yang salah satunya adalah membuat
strategi perencanaan pajak yang meminimalisir pengenaan sanksi administrasi
perpajakan atau tax penalty.
Atas dasar tersebut, penulis menyajikan
ketentuan perpajakan yang mengatur tentang jangka waktu pembayaran pajak meupun
pelaporannya serta jatuh tempo pelunasan Surat Ketetapan Pajak atau Surat
Tagihan Pajak. Dengan kita menyetor dan melaporkan pajak serta melunasi
ketetapan pajak secara tepat waktu, maka sanksi dan bahkan tindakan penagihan
pajak berupa surat paksa sampai dengan penyitaan akan dapat dihindari.
I.
DASAR HUKUM
a. UU No. 6
Tahun 1983 stdtd UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP);
b. Peraturan
Menteri Keuangan No. PMK-80/PMK.03/2010
tanggal 5 April 2010;
c.
Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-187/PMK.03/2007
tanggal 28 Desember 2007.
II.
JANGKA WAKTU PEMBAYARAN PAJAK
1) Kewajiban
Pajak Tahunan Orang Pribadi atau Badan
Sesuai dengan UU KUP Pasal 9 ayat (2)
disebutkan bahwa Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat
Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
2) Kewajiban
Pajak Masa
a) Sesuai dengan
Pasal 2 PMK-80/PMK.03/2010 disebutkan
bahwa:
a. PPh
Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. PPh Pasal 4
ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling
lamatanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. PPh
Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
d. PPh Pasal 15
yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
e. PPh Pasal 21
yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
f.
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
g. PPh
Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
h. PPh Pasal 22,
PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal
22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean impor.
i.
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja
setelah dilakukan pemungutan pajak.
j.
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja
Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama
rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
k. PPh
Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada
penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak
dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
l.
PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
m. PPN yang terutang atas
kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
n. PPN yang
terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
saat terutangnya pajak.
o. PPN atau PPN
dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai
Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
p. PPN atau PPN
dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat
Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah
melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
q. PPN atau PPN
dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara
Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
r.
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak
dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa
Pajak terakhir.
s.
Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan
beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling
lama sesuai dengan batas waktu untuk
masing-masing jenis pajak.
b) Sesuai dengan
Pasal 2 PMK-80/PMK.03/2010 disebutkan
bahwa PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum
Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
III.
JANGKA WAKTU PELAPORAN PAJAK (SPT)
1) Sesuai UU KUP
Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa Batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan adalah:
a. untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling
lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak
b. untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4
(empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
2) Sesuai Pasal
7 PMK-80/PMK.03/2010 dinyatakan bahwa:
a. Wajib
Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri
maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, seperti PPh Pasal
21/26, PPh Pasal 4 ayat (2) Final, PPh Pasal 15, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 25,
PPh Pasal 22 sesuai angka 2. 2). a).k & l di atas, wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
b. Pengusaha
Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor
sebagaimana dimaksud angka 2.2).a).m & n serta angka 2.2).b) di atas,
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Orang
pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang
telah disetor atas Kegiatan Membangun Sendiri dengan menggunakan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut,
paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
d. Orang pribadi
atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai yang telah disetor atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan menggunakan lembar
ketiga Surat Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir
bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
e. Pemungut Pajak
(PPh Pasal 22, PPN & PPnBM) yakni Direktorat Bea dan Cukai wajib melaporkan
hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu
berikutnya.
f.
Pemungut PPh Pasal 22 yakni Bendahara Pemerintah wajib melaporkan hasil pemungutannya
paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
g.
Pemungut PPN (bendahara pengeluaran & selain bendahara pemerintah) wajib
melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
h. Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu (PPh Pasal 25 & PPh Masa lainnya) yang melaporkan
beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, wajib
menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa
Pajak terakhir.
IV.
JATUH TEMPO PELUNASAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP) & SURAT TAGIHAN PAJAK
(STP)
Jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, serta Surat keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan.
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak
didaerah tertentu, jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling
lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud
di atas terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan.
Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri; dan
2) menerima atau
memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau menerima penerimaan bruto
dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp
600.000.000,00.
Wajib Pajak badan usaha kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) modal Wajib
Pajak badan 100% (seratus persen) dimiliki oleh Warga Negara Indonesia;
2) menerima atau
memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp
900.000.000,00.
V.
SANKSI ADMINISTRASI TERKAIT PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK
1) Sanksi Tidak
atau Terlambat Lapor SPT
Sesuai Pasal 7 UU KUP, disebutkan bahwa
apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:
a) Rp500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN
b) Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya
c) Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan
d) Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi.
2) Sanksi Tidak
atau Terlambat membayar pajak
1.
Terlambat membayar pajak masa
Pasal 9 ayat (2a) UU KUP menyatakan bahwa
pembayaran atau penyetoran pajak masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal
jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2.
Terlambat membayar pajak tahunan
Pasal 9 ayat (2b) UU KUP menyatakan bahwa atas
pembayaran atau penyetoran pajak tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo penyampaian SPT Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya
batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
3.
Tidak/kurang membayar pajak masa/tahunan
membayar Sesuai Pasal 14 ayat (3) UU KUP
disebutkan bahwa Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan
Pajak karena tidak atau terlambat membayar pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
3) Sanksi Tidak
atau Terlambat melunasi Ketetapan Pajak
Sesuai Pasal 19 UU KUP, dinyatakan bahwa
apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh
tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
https://allinpajak.wordpress.com/tag/peraturan-perpajakan/ (selasa,26 april 2016)
Contoh Kasus
Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di
Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Terungkapnya
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto
(Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta
pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group
financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk
keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke
Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen
penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan
komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan
keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data
digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross
Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar
2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT
AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak
sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan
afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual
kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di
dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar
negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan
permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG
tersebut terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral Pajak, Darmin
Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik
dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan
serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG, baik
yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa),
ditemukan terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak
penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu
juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun
penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya
perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232
miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri
diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp
2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT
periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga
berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK,
AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus,
direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen
Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.
Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari
pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah –
dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara,
apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini
mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya,
dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat
penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle
blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian
uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT
AAG.
Solusi penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan
penggelapan pajak (tax evasion)selama beberapa tahun terakhir sehingga
menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah.
peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan
sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, akan tetapi nyatanya masih
ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di
pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court
settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu
mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib
pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta
sanksi administratif berupa denda.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group
meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat
diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita
bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling
menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Tidak Hanya Urusan Pajak
Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah
satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group.
Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana
pencucian uang (money laundering).Dalam hal itu,
penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict
crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan
pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain.
Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang
sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai
dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar
dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada
Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat
pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT
itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang,
sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola
transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money
laundering (Metro TV, 8/1/2008).
kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ
tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan,
malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat
melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan
dengan cara mengorbankan orang yang lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas
Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak
Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto.
Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat
bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan
perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu.
Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan pajak dan money
laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih kepada
mereka.
Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara
yang bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan
penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak
tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka
seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian
Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil "penghematan" pajak
ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan dibanding
membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak.
http://bhangga1231.blogspot.co.id/2013/12/bab-9-contoh-kasus-dan-solusi-whistle.html
(selasa,26 april 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar