Rabu, 27 April 2016

KASUS PENGGELAPAN PAJAK



Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfull), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada setiap system pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi. Begitupun penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula, serta mengundang sanksi pidana badan dan denda.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk meminimalkan risiko terdeteksi biasanya para pelaku penggelapan pajak akan berusaha menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul “hasil kejahatan” (proceeds of crime) dengan melakukan tindak kejahatan lanjutannya yaitu praktik pencucian uang, agar mereka dapat memaksimalkan utilitas ekspektasi pendapatan dari penggelapan pajak tersebut. Oleh sebab itulah tindak kejahatan di bidang perpajakan termasuk salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang (TPPU)

Untuk dapat membongkar kejahatan di bidang perpajakan, seperti kasus Asian Agri Group (AAG)” yang mencuat kepermukaan melalui pemberitaan media massa, empat lembaga pemerintah terkait yaitu Direktorat Jenderal Pajak, Kejaksaan Agung, PPATK dan KPK telah meningkatkan kerjasama dan koordinasi. Menurut Anung Karyadi dari Transparansi Internasional Indonesia, kerjasama dan koordinasi tersebut mutlak adanya guna menutup semua celah (loophole) yang mungkin bisa dimanfaatkan pelaku penggelapan pajak untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.

Selain itu, kerjasama dan koordinasi yang dilakukan keempat lembaga pemerintah tersebut diharapkan juga dapat menemukan alternative pengusutan ketika sebuah cara yang telah dilakukan mengalami kebuntuan. Kita ketahui bahwa kejahatan penggelapan pajak, pencucian uang dan korupsi merupakan rangkaian kejahatan yang saling terkait satu sama lain, namun dalam penanganannya tidak selalu salam. Misalnya untuk kasus penggelapan pajak, penyelesaiannya boleh di luar persidangan UU KUP memberi peluang kepada pelaku penggelapan pajak bebas dari jeratan hukum pidana. Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan untuk kepentingan penerimaan Negara atas permintaan Menteri Keuangan. Namun demikian, penghentian penyidikan pidana tersebut hanya dapat dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak beserta dendanya.

Selain kasus AAG, dugaan terjadinya tindak kejahatan bidang perpajakan lain yang cukup menarik perhatian kita adalah kasus manipulasi pajak hingga ratusan miliar rupiah dengan tempat kejadian perkara di Kabupaten Karawang, yang melibatkan oknum petugas Ditjen Pajak, konsultan pajak dan wajib pajak perusahaan. Perkiraan sementara, modus operandinya dengan ketentuan menghitung pajak sendiri (MPS). Kasus ini berawal dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisisi Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencurigai adanya transfer uang sebesar US$500,000 (sekitar Rp. 4,5 milyar) ke rekening sebuah bank BUMN atas nama seorang oknum pegawai Ditjen Pajak berinisiatil “YH”. Hingga saat ini, penyidik Kepolisian Daerah Jawa Barat masih terus mengembangkan kasus tersebut dengan memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat. Kalau kasus ini dapat ditangani dan diselesaikan dengan baik, maka untuk pertama kalinya Indonesia mampu membongkar tindak kejahatan di bidang perpajakan yang melibatkan banyak pihak dan keberhasilan kita mengembalikan kekayaan Negara (asset forfeiture) dalam jumlah yang cukup signifikan.

Hampir dapat dipastikan bahwa kejahatan di bidang perpajakan bermula dari penentuan jumlah pajak yang harus di bayar oleh wajib pajak yang ditentukan bersama antara aparat pajak dan wajib pajak. Dalam praktik bisa terjadi misalnya wajib pajak hanya membayar 50% dari kewajibannya. Dari jumlah itu, bisa jadi setengahnya “dikantongi” oleh oknum petugas pajak itu sendiri, dan sisanya yang 25% lagi yang disetorkan ke kas Negara. Dengan modus operandi seperti ini, hilangnya uang Negara bisa mencapai 75%. Besar kemungkinan bahwa terjadinya penggelapan pajak yung semakin luas menurut Jeffrey P. Owens adalah karena difasilitasi oleh pemerintah Negara-negara yang mengunci keterbukaan dan yang tidak siap melawan penyalahgunaan pajak.

Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan Negara, baik untuk tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan. Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan Negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat di cegah dan di berantas. Sejalan dengan itu, hasil kejahatannya di sita oleh Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

JANGKA WAKTU PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK SERTA PELUNASAN KETETAPAN PAJAK  


Sebagaimana kita ketahui bahwa system pemungutan pajak di Indonesia menerapkan system Self Assestment yang memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri. Atas penerapan system inilah sehingga timbul di masyarakat adanya upaya untuk meminimalisir pembayaran pajak yang penulis bagi menjadi 2 (dua) kriteria yakni penghindaran pajak yang berada dalam koridor peraturan perpajakan yang berlaku (Tax Avoidance) dan penghindaran pajak yang melanggar peraturan perpajakan atau penggelapan pajak (Tax Avise).
Tentunya kita semua sangat mengharapkan criteria pertama yakni penghindaran pajak yang sesuai dengan peraturan perpajakan yang dipakai oleh semua lapisan masyarakat sebagai Wajib Pajak. Nah, cara untuk meminimalisir pembayaran pajak antara lain adalah membuat perencanaan pajak yang efektif dan efisien yang salah satunya adalah membuat strategi perencanaan pajak yang meminimalisir pengenaan sanksi administrasi perpajakan atau tax penalty.
Atas dasar tersebut, penulis menyajikan ketentuan perpajakan yang mengatur tentang jangka waktu pembayaran pajak meupun pelaporannya serta jatuh tempo pelunasan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak. Dengan kita menyetor dan melaporkan pajak serta melunasi ketetapan pajak secara tepat waktu, maka sanksi dan bahkan tindakan penagihan pajak berupa surat paksa sampai dengan penyitaan akan dapat dihindari.

I.            DASAR HUKUM
a.      UU No. 6 Tahun 1983 stdtd UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
b.      Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010;
c.       Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-187/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007.
II.            JANGKA WAKTU PEMBAYARAN PAJAK
1)      Kewajiban Pajak Tahunan Orang Pribadi atau Badan
Sesuai dengan UU KUP Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
2)      Kewajiban Pajak Masa
a)      Sesuai dengan Pasal 2 PMK-80/PMK.03/2010 disebutkan bahwa:
a.       PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b.      PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lamatanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c.       PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
d.      PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
e.      PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
f.        PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
g.       PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
h.      PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
i.         PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
j.        PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
k.       PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
l.         PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
m.    PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
n.      PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
o.      PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
p.      PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
q.      PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
r.        PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
s.       Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu       untuk masing-masing jenis pajak.
b)      Sesuai dengan Pasal 2 PMK-80/PMK.03/2010 disebutkan bahwa PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
III.            JANGKA WAKTU PELAPORAN PAJAK (SPT)
1)      Sesuai UU KUP Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa Batas  waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah:
a.       untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak
b.      untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
2)      Sesuai Pasal 7 PMK-80/PMK.03/2010 dinyatakan bahwa:
a.       Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, seperti PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 4 ayat (2) Final, PPh Pasal 15, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 25, PPh Pasal 22 sesuai angka 2. 2). a).k & l di atas, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
b.      Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor sebagaimana dimaksud angka 2.2).a).m & n serta angka 2.2).b) di atas, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c.       Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang telah disetor atas Kegiatan Membangun Sendiri dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
d.      Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
e.      Pemungut Pajak (PPh Pasal 22, PPN & PPnBM) yakni Direktorat Bea dan Cukai wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.
f.        Pemungut PPh Pasal 22 yakni Bendahara Pemerintah wajib melaporkan hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
g.       Pemungut PPN (bendahara pengeluaran & selain bendahara pemerintah) wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
h.      Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (PPh Pasal 25 & PPh Masa lainnya) yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, wajib            menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
IV.            JATUH TEMPO PELUNASAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP) & SURAT TAGIHAN PAJAK (STP)
Jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan.
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak didaerah tertentu, jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan.
Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1)      Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri; dan
2)      menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau menerima penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp 600.000.000,00.
Wajib Pajak badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)      modal Wajib Pajak badan 100% (seratus persen) dimiliki oleh Warga Negara Indonesia;
2)      menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp 900.000.000,00.
V.            SANKSI ADMINISTRASI TERKAIT PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK
1)      Sanksi Tidak atau Terlambat Lapor SPT
Sesuai Pasal 7 UU KUP, disebutkan bahwa apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:
a)      Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN
b)      Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya
c)       Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak badan
d)      Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi.
2)      Sanksi Tidak atau Terlambat membayar pajak
1.       Terlambat membayar pajak masa
Pasal 9 ayat (2a) UU KUP menyatakan bahwa pembayaran atau penyetoran pajak masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2.       Terlambat membayar pajak tahunan
Pasal 9 ayat (2b) UU KUP menyatakan bahwa atas pembayaran atau penyetoran pajak tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
3.       Tidak/kurang membayar pajak masa/tahunan
membayar Sesuai Pasal 14 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena tidak atau terlambat membayar pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
3)      Sanksi Tidak atau Terlambat melunasi Ketetapan Pajak
Sesuai Pasal 19 UU KUP, dinyatakan bahwa apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.









Contoh Kasus Penggelapan Pajak Oleh PT. Asian Agri Group

PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).  Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.

Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.

Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.

Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. 

Solusi penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?

PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion)selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. 
peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, akan tetapi nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda. 
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.

Tidak Hanya Urusan Pajak

Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering).Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnyaDalam kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.

Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island)Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro TV, 8/1/2008).

kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih kepada mereka. 

 Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas, amat besar uang negara yang bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil "penghematan" pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar dugaan penggelapan pajak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar